Thursday 25 August 2016

Idealis vs Pragmatis (bag. 2)

Pada postingan saya dulu, telah saya sampaikan tentang apa itu idealis dan pragmatis dalam pandangan saya. Namun, kejadian baru-baru ini membuat saya kembali berpikir apa makna idealis sebenarnya dan mengapa orang yang dulunya sangat idealis bisa berubah menjadi sangat pragmatis. Contohnya, para aktivis mahasiswa yang pada masa mudanya sangat gencar berdemo melawan korupsi bisa saja pada masa tuanya tertangkap tangan sebagai pejabat yang korupsi. Banyak contoh lain yang bisa kita ungkap. Pertanyaannya adalah mengapa? Mengapa mereka berubah? Kemana idealisme yang dulu mereka gaung-gaungkan?

Idealisme, menurut hemat saya saat ini, adalah prinsip yang ideal, prinsip yang 'seharusnya', prinsip yang dapat dipegang teguh saat kehidupan yang kita jalani adalah kehidupan yang ideal. Prinsip ini sulit untuk dipertahankan saat kondisi kita tidak mendukung. Ambil contoh seorang ilmuwan. Idealnya, ilmuwan tugasnya adalah meneliti dan menemukan hal baru. Namun karena kondisi finansial yang tak memungkinkan, gaji yang tak cukup, hasil yang tak sesuai dengan usaha yang dikeluarkan, maka dicarilah jalan lain, berdagang atau bikin proyekan misalnya. Atau seorang dosen yang harusnya fokus mengajar dan meneliti, tapi karena gaji dosen yang pas-pasan, dicarilah jalan lain sehingga profesi dosen hanya jadi profesi sampingan. Akibatnya mahasiswapun jadi terbengkalai dan hasilnya tak maksimal.

Lain cerita jika kehidupan seorang dosen dan peneliti tersebut berkecupukan tanpa harus memikirkan pendapatan yang tak seimbang dengan pengeluaran. Mereka bisa fokus dalam penelitiannya saja. Itu sebabnya banyak penemuan-penemuan penting lahirnya di negara-negara maju, karena penelitinya tak perlu memusingkan lagi soal makan dan pengeluaran. Sedangkan di negara berkembang, profesi dosen dan peneliti hanya dianggap sebelah mata. Profesi lain di bidang keuangan dan pertambangan misalnya, jauh lebih sejahtera. Makanya banyak dosen yang mencari proyek di luaran. Kalau tak begitu ya tak makan. Maka jangan lagi salahkan mereka kalau hasil penelitian kita, baik secara kualitas dan kuantitas masih jauh dari negara-negara lain.

Kembali ke soalan idealisme. Betapapun kondisinya demikian, masih banyak kita temukan idealis-idealis di sekitar kita. Mereka tertatih terlancung pada awalnya, namun beberapa dari mereka bisa keluar dari zona ketidaknyamanan dan sukses besar pada akhirnya. Beberapa memilih untuk hidup sederhana karena itu memang idealismenya. Maka tak heran kita temukan para idealis yang berhasil itu seringnya adalah anak muda. Karena mereka biasanya masih belum terkontaminasi dengan tuntutan-tuntutan untuk menjadi dewasa. Mereka mampu fokus pada satu ide dan mewujudkan ide tersebut tanpa khawatir akan hal lain. Beda halnya jika sudah banyak tuntutan. Pada pikiran khalayak saat ini, menjadi dewasa adalah menjadi mengalah. Mengalah dari mewujudkan ide-ide liar yang berseliweran di kepala, dan fokus pada mencari pendapatan yang sesuai, hari demi hari.

Tapi seperti yang saya sampaikan di tulisan sebelumnya, kalau dapat, jadilah pragmatis yang idealis. Berfokus mencari uang boleh saja, tapi bukan berarti kita tidak bisa mewujudkan mimpi dan ide-ide yang tertanam di kepala. Memang ada waktu lebih yang harus diluangkan, ada tidur yang harus dikorbankan, ada kesehatan yang harus dijaga maksimal, namun itu semua akan terbayar pada akhirnya. Bukan hal yang tak mungkin pada suatu saat nanti dunia yang ideal itu akan kita capai, sehingga kita tidak perlu khawatir akan uang atau apa yang akan dimakan esok hari. Inilah yang dinamakan kemerdekaan dan kebebasan yang sejati. Untuk mencapai ke sana, perlu banyak sekali pengorbanan dan usaha maksimal yang perlu di lakukan. Tapi sekali lagi, semuanya akan terbayar pada akhirnya. Merdeka!

No comments:

Post a Comment