You were right! Counts for nothing if you can’t defend it! (Dr. House)
Salah satu hal yang menantang buat saya adalah menerjemahkan apa yang saya pikirkan dalam kata-kata, baik itu kata-kata lisan maupun tulisan. Terkadang pikiran kita terlalu cepat untuk diucapkan atau dituliskan dengan kata-kata. Alhasil banyak buah pikiran yang terlewat atau tidak tersampaikan. Di sinilah awal mula dari salah paham. Miskomunikasi kata orang.
Terkadang kita juga begitu cepat berasumsi. Kita berasumsi orang lain paham dengan apa yang kita sampaikan. Ujung-ujungnya kita menuntut lebih. Menuntut agar orang lain paham dengan pikiran dan perasaan kita. Padahal bisa jadi situasinya tak sama.
Pada kasus lain kita terkadang terpaksa setuju dengan pendapat orang, hanya karena kita tidak bisa menerjemahkan argumen pikiran kita dalam kata-kata yang baik dan terstruktur. Padahal bisa jadi argumen kita lebih benar dan lebih baik. Laiknya peribahasa minang, "cakak habih, silek takana". Pertengkaran usai, baru ingat gerak silat. Bayangkan kalau adu argumen ini menyangkut kebijakan publik atau kepentingan orang banyak. Sayang sekali bukan?
![]() |
Kata sebagai jembatan pikiran |
Kadang
kita takut tulisan kita tak bagus, opini kita tak berbobot, ucapan kita
centang parenang. Tapi kalau tak dibiasakan dan tak dilatih, kapan kita
akan bisa. Maka menulis, sebagai salah satu cara untuk menjembatani
pikiran, perlu dilatih dan dilakukan. Kalau tak bisa menulis,
berbicaralah. Sampaikan argumen pikiran itu dengan kata-kata yang baik.
Beritakan ide dan opini yang kamu pikirkan kepada orang banyak. Karena
seringkali dari perbedaan pandangan, timbul ide-ide baru yang segar.
-- ditulis oleh A.A.
No comments:
Post a Comment