Beberapa waktu belakangan, pikiran saya terusik dengan fenomena yang dinamakan sebagai technosolutionism. Technosolutionism adalah suatu paham yang beranggapan bahwa teknologi dapat menjadi solusi bagi semua permasalahan sosial, namun seringkali mengabaikan isu-isu lain yang relevan. Istilah ini dipopulerkan pertama kali oleh Evgeny Morozov dalam bukunya "To Save Everything, Click Here: The Folly of Technological Solutionism". Buku ini mendeskripsikan dengan detail fenomena yang sering terjadi saat ini; mengasumsikan bahwa teknologi adalah jawaban atas semua masalah, tanpa menggali dan memahami lebih dalam permasalahan tersebut. Buku terbitan 2013 ini merupakan respon dari masifnya ide-ide dan pengembangan aplikasi pada saat itu. Alih-alih memberikan manfaat, aplikasi-aplikasi tersebut terkesan sia-sia dan tidak efektif untuk menyelesaikan masalah. Salah satu aplikasi yang digambarkan pada buku tersebut adalah BinCam. BinCam merupakan tempat sampah 'pintar' yang dapat memotret dan membagikan potret tersebut di media sosial setiap kali kita membuka dan membuang sampah di tempat sampah tersebut. Alih-alih menyelesaikan masalah lingkungan atau mendorong kesadaran, aplikasi ini justru memicu kontroversi. The Wall Street Journal pun memberikan judul yang kontroversial terkait ulasan inovasi tersebut dengan judul, "Is Smart Making Us Dumb?".
Sudah lebih dari satu dekade berlalu sejak buku Morozov terbit, namun fenomena technosolutionism ini rasanya makin marak kita temui, termasuk di Indonesia. Paham ini berkembang tidak hanya di masyarakat awam, namun juga pada instansi pemerintah, swasta, bahkan perguruan tinggi. Seringkali kita temui pejabat yang memamerkan telah membuat sekian aplikasi, tanpa mengukur seberapa besar manfaat aplikasi tersebut bagi masyarakat. Berbeda dengan swasta yang sangat mempertimbangkan unsur bisnis sebelum memasarkan produk, aplikasi yang dibuat pemerintah seringkali tidak melalui proses analisis kebutuhan yang cukup. Akibatnya sering kali aplikasi ini tersuruk di sudut-sudut ruang penyimpanan server, sesekali muncul saat ada penilaian dari pusat.
![]() |
Terkadang, pertanyaan lebih penting daripada jawaban! |
Dalam ranah kebijakan di Indonesia, dikenal ada konsep yang dinamakan 'Kota Cerdas' atau smart city, dan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) atau yang dikenal luas dengan istilah e-government. Dua konsep ini, meskipun terbukti sukses di banyak negara, tetap menyimpan risiko jika diterapkan tanpa analisis mendalam. Estonia, negara yang kerap menjadi rujukan praktik e-government, bahkan pernah mengalami krisis akibat serangan siber masif pada 2007. Serangan ini berakibat pada lumpuhnya sebagian layanan pemerintahan dan perbankan, yang disebutkan pada laporan NATO, terjadi selama 22 hari.
Estonia adalah salah satu contoh kasus bahwa teknologi tidak selalu bisa diandalkan. Tidak hanya dari sisi keamanan siber, teknologi juga tidak bisa selalu diandalkan jika berhadapan dengan permasalahan sosial politik yang kompleks. Contoh dari Indonesia sendiri dapat kita lihat pada kasus parkir elektronik di Kota Bandung. Penelitian oleh Tutik Rachmawati dan Kusuma Dwi Fitriyanti menunjukkan bahwa parkir elektronik tidak efektif dalam meningkatkan pendapatan daerah melalui retribusi parkir. Tiga faktor disebut sebagai penyebabnya: lemahnya regulasi, buruknya pengelolaan, dan minimnya pengawasan. Pada dasarnya saya setuju dengan argumen ini. Namun, berdasarkan analisis saya, faktor analisis kebutuhan juga menjadi salah satu penyebab tidak efektifnya solusi parkir elektronik ini. Teknologi parkir ini tidak menjawab realitas sosial masyarakat. Alih-alih menggunakan parkir elektronik, masyarakat lebih nyaman dengan meminta bantuan tukang parkir. Dari sisi tukang parkir pun begitu, parkir elektronik dianggap menggerus pendapatan harian mereka. Alhasil, sampai sekarang parkir elektronik yang tersebar di berbagai titik Kota Bandung ini berdiri membisu laiknya monumen pengingat tentang upaya digitalisasi yang tak tepat sasaran.
Technosolutionism sekali lagi bukan jargon atau buzzword yang kosong tidak ada arti. Paham ini haruslah kita waspadai agar tidak berujung pada inefisiensi dan buang-buang anggaran. Paham ini mendorong kita untuk mengutamakan solusi, bahkan sebelum benar-benar memahami masalah. Kita jadi terlalu percaya pada teknologi sebagai jalan keluar, padahal kita belum betul-betul tahu ke mana harus keluar.
Tulisan ini bukanlah kritik untuk satu entitas atau proyek tertentu. Ini kritik untuk kita semua. Untuk kita yang terlalu cepat menyusun aplikasi, tapi lambat membaca realitas. Untuk kita yang rajin bicara solusi, tapi enggan mendalami pertanyaan. Sebelum menambah aplikasi baru, mungkin sudah saatnya kita bertanya ulang: apa masalah sebenarnya?
-- ditulis oleh A.A.
No comments:
Post a Comment